Akhir-akhir ini semakin marak kejahatan dan eksploitasi terhadap anak seperti kekerasan, bullying, penculikan, penjualan, atau yang sering terlihat di media saat ini adalah pelecehan seksual dan pornografi anak. Melihat kenyataan tersebut, ECCD-RC sebagai lembaga yang peduli pada hak-hak anak akan berbagi pengetahuan tentang cara mengajarkan anak melindungi dirinya sendiri dari kekerasan. Cara menarik yang bisa digunakan untuk mengenalkan perlindungan diri pada anak bias melalui games, lagu, body mapping, atau metode-metode tertentu. Di sini, ECCD RC akan mengajak pembaca untuk melakukan body mapping.
Perlu dipahami bahwa tidak ada usia yang terlalu muda bagi seorang anak untuk mulai diperkenalkan dengan upaya perlindungan diri. Idealnya, perlindungan diri mulai dikenalkan pada saat anak berusia 3-5 tahun. Hal ini diperlukan karena pada rentang usia tersebut, anak mulai berinteraksi dengan dunia di luar keluarga.
Menurut factsheets yang disusun oleh Family Planning Queensland (2009) ada tujuh konsep yang perlu diperhatikan dalam menanamkan perlindungan diri pada anak. Yaitu harga diri (self esteem), asertivitas (assertiveness), kesadaran akan tubuh (body awareness), memahami bentuk-bentuk hubungan (understanding relationships), memahami aturan tentang sentuhan (identityfying the rules about touch), memahami perasaan yang muncul (understanding feelings), dan mengetahui hal yang harus dilakukan jika aturan tersebut terlanggar (knowing what to do if the rules are broken).
Untuk mengenalkan pentingnya perlindungan diri, ECCD RC menerapkan beberapa metode. Salah satunya adalah dengan membiasakan agar anak menyadari tentang haknya. Misalnya, orang dewasa tidak sembarang menyentuh, mencolek, memeluk atau mencium anak. Anak adalah individu merdeka yang berhak menentukan dirinya mengizinkan orang lain menyentuhnya atau tidak. Anak boleh mengatakan “tidak suka” atas perlakuan yang diterima dan orang dewasa patut menghargai itu. Orang dewasa juga perlu memfasilitasi anak agar anak terbiasa menghargai teman yang lain. Atau dengan memasukkan informasi tentang perlindungan diri dalam kegiatan belajar (melalui permainan, diskusi, nonton film atau referensi penunjang dalam bentuk buku yang memuat informasi terkait).
Beberapa hal yang perlu diperkenalkan dalam perlindungan diri anak antara lain:
· Memiliki “kuasa” atas tubuhnya sendiri
· Berani mengatakan tidak
· Terbuka (tidak menyimpan rahasia dengan orang tua)
· Berkomunikasi dengan orang asing di bawah pengawasan orang dewasa
· Menggunakan multimedia hanya jika didampingi oleh orang dewasa
· Menanyakan identitas orang dewasa yang membuka komunikasi dengannya
· Mengenal nama, identitas diri & orang tuanya, serta lingkungan sekitar
· Membiasakan kesepakatan dan mengenal batasan
· Mendapat penjelasan atas aturan (tidak sekedar patuh)
· Bantuan untuk kebersihan pribadi hanya oleh orang dewasa yang terpercaya
· Mengenalkan pada anak bahwa temannya berbeda dan cara agar anak bisa memahami/ berinteraksi dengan teman juga merupakan bagian dari perlindungan anak terhadap kekerasan
Perlindungan diri dengan melakukan body mapping bisa dilakukan dengan cara:
1. Menggambar bentuk tubuh anak dengan cara anak rebahan di atas alas seperti plano atau kertas berukuran besar, kemudian dijiplak menggunakan crayon pada sisi tubuh.
2. Anak boleh menambah atribut seperti rambut, mata, mulut, dan sebagainya pada gambar diri mereka.
3. Orang tua bertanya pada anak mengenai:
a. Bagian tubuh mana yang disukai?
b. Bagian tubuh anak mana yang tidak disukai?
c. Bagian tubuh mana yang boleh disentuh/ dipegang?
d. Bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh/ dipegang?
e. Bagian tubuh mana yang pernah sakit/ disakiti?
4. Memberi arsiran pada setiap jawaban anak menggunakan crayon dengan warna berbeda di gambar jiplakan tubuh anak. Kemudian memberi keterangan dalam bentuk tulisan di bawah gambar.
5. Memberikan informasi yang diperlukan terkait tentang perlindungan diri, perbedaan gender, dan sebagainya
Bagaimana jika kekerasan telah terjadi? Hal yang bisa dilakukan jika telah terjadi kekerasan adalah sebagai berikut:
Ø Penuhi kebutuhan anak akan rasa aman dengan tidak menyalahkan korban atas hal yang telah terjadi
Ø Menghubungi pihak yang berkompeten dalam pendampingan kasus kekerasan seperti lembaga FPK2PA di tiap kabupaten, Lembaga pendamping (LPA, Rekso Dyah Utami, Rifka Annisa, Limora, dll)
Ø Intervensi psikologis dan kejiwaan jika diperlukan
Ø Melibatkan anak dalam penyelesaian kasus
Ø Masyarakat memberikan rasa aman bagi korban dan keluarga
Ø Masyarakat ikut memantau proses hukum yang diambil dan memberikan perhatian pada korban jika kasus tidak berlanjut di ranah hukum dalam bentuk support psikologis dan social
Ø Menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran bagi seluruh masyarakat dan bukan justru menutupi
(E/T&MK)