Dimuat di Harian Jogja
Hasanah Safriyani, Psi
Bagi sebagian besar orang tua, pasti menyenangkan jika kesukaan atau keinginannya sama dengan kesukaan atau keinginan anaknya. Sayangnya, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya. Yang disukai anak, justeru dilarang oleh orang tuanya. Sementara yang disukai orang tua, anak setengah mati menghindarinya. Kadang hal ini bisa memunculkan konflik antara orang tua dan anak.
Perbedaan kesukaan ini biasanya muncul dalam situasi yang menimbulkan pilihan, misalnya menentukan tujuan perjalanan, membeli barang, penggunaan alat. Bisa terjadi juga pada kegiatan harian seperti makan, waktu mandi, merapikan barang, dll. Lalu apa yang bisa dilakukan orang tua agar perbedaan kesukaan ini tidak menimbulkan konflik?
Mengapa anak dan orang tua bisa beda keinginan?
- Selera setiap orang bisa berbeda. Kita punya hal-hal yang kita suka dan tidak suka, anak juga punya. Wajar jika kesukaan itu berbeda. Masalahnya bisakah kita sebagai orang dewasa menghargai selera anak?
- Beda sudut pandang. Biasanya kita memandang dari sudut apa ketertiban, kebersihan, kepraktisan. Anak mungkin memandang dari sudut kesenangan, kemeriahan, kebanggaan. Misalnya kita lebih senang jika anak menyimpan hasil karyanya dengan rapi, tapi anak lebih senang membiarkannya bergelantungan karena ia bangga dengan itu.
- Tahap perkembangan emosi anak: egosentris. Di usia awal, anak memandang dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu. Anak mengira semua orang bisa mengerti dan sepakat dengan apa yang ia mau. Keterampilan empati anak belum berkembang dengan baik. Itu mengapa ia tidak mengerti mengapa kesukaannya menggambar di dinding membuat kita gerah.
Kapan perbedaan keinginan/kesukaan bisa menimbulkan konflik?
Konflik bisa terjadi kalau orang tua sama egosentrisnya dengan anak, sehingga memaksakan kehendaknya. Kadang anak sekedar dilarang ”tidak boleh berantakan! Tidak boleh corat coret tembok!” Tanpa solusi sehingga anak cenderung melakukannya lagi. Konflik bisa juga terjadi kalau anak mengalami hambatan untuk mengungkapkan keinginanannya, bisa karena ketrampilan komunikasi yang belum memadai atau karena tidak berani. Karena tidak mampu mengungkapkan apa yang menjadi maunya, anak bisa kesal dan kadang menimbulkan perilaku yang membuat kita semakin tidak jelas apa maunya. Sebaliknya, penjelasan dari orang tua yang kurang dimengerti anak juga bisa menjadi peluang munculnya konflik.
Apa yang sebaiknya dilakukan orang tua?
- Bicara dengan anak, bantu anak mengemukakan perasaannya. Sebaiknya kita berusaha mencari tahu mengapa anak senang dengan hal itu. Misalnya anak senang mencoret dinding karena penampangnya yang luas. Dengan begitu kita bisa menawarkan solusi yang pas. Jika perlu bantu anak untuk menjelaskan apa yang ia mau. Bisa mengemukakan ide merupakan salah satu keterampilan hidup yang penting.
- Menjelaskan harapan kita -bukan mengatur – , lalu tawarkan solusi. Orang tua boleh menjelaskan apa yang disukai atau tidak disukainya, lalu setelah itu mencari jalan keluarnya bersama anak. Misalnya ”Ayah ingin dinding rumah kita ini bersih dari coretan, bagaimana kalau kita buatkan papan raksasa yang bisa kamu gambari?” . Kesalahan yang sering terjadi adalah orang tua langsung memberi tahu apa yang harus dilakukan anak, tanpa penjelasan. Akibatnya anak jadi tidak kooperatif, atau kooperatif tapi terpaksa.
- Jika bukan masalah krusial, biarkan anak mendapatkan keinginannya. Kalau masalahnya hanya kita ingin anak memakai gaun pink tapi memilih baju biru, mengapa harus diributkan. Anak butuh ruang untuk mengekspresikan apa yang dia mau. Untuk itu jika hal yang tidak terlalu penting (tidak berakibat pada kesehatan, keamanan anak atau kenyamanan lingkungan) maka berikan kebebeasan anak untuk memilih yang disukainya. Pengalaman ini penting untuk membangun keterampilan anak dalam membuat keputusan (decision making) saat ia dewasa nanti. Anak yang terlalu diatur untuk hal-hal kecil, tidak mendapat cukup kesempatan untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian, sehingga nanti untuk hal yang sekecil apapun dia akan bertanya dulu ke orang tuanya, tidak bisa memutuskan sendiri. Tentu kita tidak ingin anak kita seperti itu kan?
Salam.