Kenapa Anak Suka Mengadu

Herlita Jayadiyanti

Beberapa hal yang melatar belakangi anak menjadi pengadu, antara lain.

1. Mencontoh

Boleh jadi si kecil tumbuh jadi anak pengadu lantaran orang-orang terdekatnya memang berperilaku seperti itu. Coba, deh, selidiki, adakah anggota keluarga yang hobi mengadu? Jangan-jangan malah kita sendiri yang sebentar-sebentar bilang, “Nanti Mama bilangin ke Papa, lo! Biar dijewer sama Papa kalau makannya enggak dihabisin.” atau “Nanti Ayah bilangin Bunda, ya, kalau kamu gangguin Ayah terus. Biar nanti disetrap sama Bunda.”

Ingat, lo, Bu-Pak, modelling atau peniruan masih cukup dominan di usia ini. Selain, omongan semacam itu cuma membikin si kecil meragukan kemampuan kita menyelesaikan masalah. Soalnya, yang tertangkap di benak si Upik atau si Buyung, kan, memang ketidakmampuan kita. Ia akan berpikir, “Kok, ayahku payah banget, sih, sebentar-sebentar ngadu ke Bunda.”

2. Terlalu dimanja

Ini salah satu kesalahan kita sebagai orang tua: tak tega pada anak. Hingga, tanpa sadar kita cenderung memberlakukan kebiasaan-kebiasaan yang membuat si kecil jadi tak mandiri. Misal, selalu menyuapi makan, memandikan, memakaikan baju, menolong mengambilkan ini-itu, dan sebagainya. Bahkan, tak jarang kita biarkan si kecil terlayani semua kebutuhannya hanya cukup dengan berteriak, “Mbak!” memanggil pembantu atau pengasuhnya. Hingga, untuk tugas-tugas sederhana pun semisal mengambil minum dan membuka sepatu, si kecil akan memanggil pembantu/pengasuhnya.

Hati-hati, lo, Bu-Pak, kebiasaan ini bukan hanya berlangsung di rumah, tapi juga akan berlanjut ke “sekolah”; sebentar-sebentar ia memanggil gurunya untuk minta bantuan. Yang lebih parah, bisa menumbuhkan perilaku bossy, terutama dalam pergaulan dengan teman-temannya. Jika sudah begitu, ia bisa dijauhi lingkungan sosialnya.

Bukan berarti si kecil tak boleh dibantu, lo. Hanya saja, dalam batas-batas tertentu, ia harus mulai dilepas. Paling tidak, untuk tugas-tugas sederhana yang berkaitan dengan dirinya sendiri seperti makan, mandi, buka-pakai baju, dan lainnya. Dengan begitu, kemandiriannya perlahan-lahan tumbuh. Jangan lupa, di usia ini anak diharapkan bisa menyelesaikan segala persoalannya sesuai kemampuannya. Kita memang harus sedikit tega pada si kecil, ya, Bu-Pak.

3. Cari Perhatian

Bukan tak mungkin si kecil terbiasa mengadu hanya karena ia membayangkan nikmatnya mendapat perhatian dari guru atau orang tua. “Aku juga mau, ah,” begitu pikirnya setiap kali ada temannya mengadu dan guru menanggapi atau adik/kakaknya mengadu dan ayah/ibu menanggapi. Padahal, mengadu yang sering merupakan bentuk pelarian dari ketakmampuan menyelesaikan masalah, bila tak direm, akan berdampak fatal. Anak terbentuk jadi pribadi yang terbiasa cari selamat sendiri, atau bahkan tega “mengorbankan” teman/adik/kakak, misal.

Terlebih bila guru/orang tua tak cermat, hingga mudah termakan pengaduan anak, “Bu, si A mukul,” padahal sebetulnya tidak. Bila tak jeli melihat situasi, guru/orang tua pun akan salah menilai anak yang mengadu tadi. Sementara anak akan berpikir ia bisa memanfaatkan orang lain hanya dengan mengadu. Celaka, kan, Bu-Pak? Nah, untuk mencegah hal-hal seperti ini, kita memang perlu bersikap bijak dalam arti, kapan harus menanggapi pengaduan anak dan kapan pula perlu bersikap cuek.

4. Butuh Perlindungan

Dalam banyak hal, dengan segala keterbatasannya, anak memang sering merasa tak berdaya. Nah, dalam keadaan tak berdaya inilah, si kecil merasa perlu lari pada orang tua atau gurunya. Dengan kata lain, ia meminta kita atau gurunya menjadi perpanjangan tangannya dalam menyelesaikan masalah. Soalnya, di kelas siapa lagi, sih, yang pantas dianggap sebagai tokoh yang mampu melindungi selain guru? Sementara di rumah, cuma ayah-ibunya, kan?

Tentu hal ini tak boleh dibiarkan. Jangan lupa, anak terus tumbuh dan berkembang. Selama di TK, tuntutan semacam ini mungkin tak menimbulkan masalah buat guru. Namun setelah duduk di SD ketika guru-gurunya sudah tak seramah seperti di TK dan lingkungan sosialisasinya semakin “liar” sementara orang tua pun tak setiap saat bisa menolongnya, maka anak-anak yang terbiasa kelewat dilindungi jadi enggak percaya diri. Kebiasaan mengadu mengundang anak jadi pribadi cengeng yang selalu bergantung pada orang lain, padahal dunia butuh orang-orang yang tough alias tahan banting.

5. Kurang Pergaulan

Anak-anak yang kemampuan bergaulnya dengan teman sebaya kurang diasah, akan tumbuh menjadi anak yang tak bisa menyelesaikan konflik. Anak-anak seperti ini, besar kemungkinan punya ikatan begitu kuat dengan

sosok ibu di rumah. Hingga, ketika di “sekolah” pun, ia cenderung lebih akrab dengan guru ketimbang teman-temannya. Tak heran bila anak tipe kurang populer ini akhirnya lebih sering jadi tukang mengadu.

Penting diketahui, semasa usia prasekolah, anak harus makin intens berkenalan dengan dunia di luar rumah. Namun hal ini hanya bisa dilakukan bila anak punya keberanian untuk berinteraksi maupun mengucapkan sapaan tertentu yang merupakan bagian dari pergaulan, semisal mengucap salam atau terima kasih, minta tolong, dan lainnya. Dengan demikian, anak akan mampu mengungkapkan perasaannya secara positif. Nah, buat anak kuper alias kurang pergaulan, ini bukan perkara gampang, lo. Hingga, yang paling mudah dilakukannya cuma mengadu, entah kepada guru saat di “sekolah” atau orang tua saat di rumah.

Itulah mengapa, kita harus memberi kesempatan pada anak untuk bergaul seluas-luasnya. Tentu secara bertahap, sesuai perkembangan sosialisasinya seiring usia bertambah. Termasuk mengajarkan berbicara agar kemampuan bahasanya makin berkembang, etika pergaulan seperti sopan santun, belajar berbagi, serta belajar memilih dan memutuskan sendiri.

Apa yang bisa dilakukan orangtua agar anak tidak jadi “pengadu”?

1.Jangan buru-buru melayani aduannya karena itu dapat menyebabkan anak semakin bersemangat untuk mengadukan kelakuan orang lain.

2.Yakinkan anak bahwa dia dapat menyelesaikan sendiri tanpa harus mengadu pada ibunya.

3.Ajarkan untuk asertif

4.Observasi

Itu sebab, Indri minta, baik guru maupun orang tua agar mengobservasi dulu, apakah hal yang diadukan anak memang benar-benar berbahaya. Tentu sebagai orang tua, kita harus jujur, ya, Bu-Pak. Dalam arti, kalau memang bukan hal yang membahayakan, kita pun harus mengakuinya. Kalau tidak, yang terkena dampaknya juga si kecil. Ingat, lo, ia bisa tumbuh jadi orang yang enggak tahan banting jika selalu dilindungi.

Jadi, bila si kecil mengadu pada kita dan kita menganggap pengaduannya lebih pada usahanya untuk menarik perhatian, misal, amat tak bijak bila kita menerima pengaduannya begitu saja. Sebaiknya, saran Indri, libatkan orang lain yang bisa memberi masukan atau mengkonfirmasikan kebenaran pengaduan anak, misal pembantu/pengasuhnya. “Semacam ‘interogasi’, tapi lakukan secara halus dan tak di depan anak.” Dengan begitu, kita jadi bisa tahu apakah pengaduan si kecil merupakan salah satu bentuk cari perhatian, atau memang perlu ditindaklanjuti.

Namun bila si kecil mengadunya pada guru dan guru menilai pengaduannya bukan yang membahayakan, terlebih bila pengaduan serupa kerap dilakukan anak, maka guru perlu mengkomunikasikannya dengan orang tua. Misal, “Di rumah biasanya diapain, ya, Bu, kalau si kecil sering mengadu?” Dari sini bisa terlihat bagaimana pola kebiasaan anak di rumah. Namun ingat, lo, Bu-Pak, kita tak boleh marah pada guru si kecil karena biasanya, kan, orang tua enggak mau anaknya disalahkan. Jangan pula kita menutup diri dari guru hingga tak memberi tahu hal yang sebenarnya terjadi di rumah. Soalnya, dengan kita menutup diri, guru jadi sulit untuk menemukan solusi yang tepat buat mengatasi masalah ini (termasuk masalah-masalah lain yang dihadapi anak di “sekolah”).

Nah, kini kita jadi makin paham akan perilaku si kecil, ya, Bu-Pak. Satu hal yang penting, kita pun perlu menjalin kerja sama yang baik dengan guru untuk mengatasi masalah yang dihadapi si kecil.

5.Beri teguran

Padahal, lebih efektif hasilnya bila kita langsung menegur si kecil. Misal, “Enggak boleh begitu, dong, Sayang. Kamu harus makan. Kalau enggak makan, nanti bisa sakit, lo.” atau “Nak, Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini. Bila kamu terus mengganggu Ayah, kan, Ayah jadi enggak bisa bekerja. Gimana kalau kamu menggambar dulu di meja kecil itu sementara Ayah menyelesaikan pekerjaan. Kalau Ayah sudah selesai, baru kita main bersama.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *