Kekerasan Psikis, Luka Kecil di Hati si Kecil Meski Tak Tampak Tapi Menyakitkan

Dimuat di Buletin RC

Ardhian Heveanthara

Banyak anak yang malah merasa senang dan nyaman ketika orang tuanya tidak berada di rumah…. Mari luangkan waktu sebentar untuk mengamati anak anda baik-baik. Perhatikan apakah ada indikasi anak anda juga demikian?

“Mah, bacain ini mah” Sore itu Sisi (4 tahun) merengek pada minta dibacakan buku cerita kepada mamanya. Mamanya baru turun dari mobil, pulang dari kantor dan tampak suntuk dan kelelahan menolak permintaan Sisi.

“Nanti malam saja ya sayang, mama mau istirahat dulu”.

“Nggak mau, nggak mau, sekarang…” Sisi terus merengek sambil menarik-narik rok mamanya yang sedang merebahkan diri di sofa. Sisi terus merengek, dan sang mama diam saja tidak menjawab. Sisi tetap tidak berhenti merengek, hingga mamanya berteriak keras, ” Sisi..!! bisa diam tidak!! Mama jewer kamu nanti, mama lagi pusing, sana sama bibi, denger nggak mama bilang apa…sana…!!”

Sangat wajar emosi memuncak ketika hati sedang tidak nyaman, pikiran suntuk, stres beban pekerjaan dan capek, masih ditambah lagi dipancing oleh rengekan anak yang membikin tambah pening. Sisi memang salah, tapi bagaimanapun dia adalah balita yang belum bisa melihat realita. Sisi mungkin kemudian menurut dan diam tapi kita tidak pernah tau ada apa dibalik pikiran dan hatinya ketika itu. Anak bisa menyimpan dendam dan rekaman kejadian dalam alam bawah sadarnya, dan akumulasinya akan bermuara pada karakter, sikap, dan cara menyelesaikan masalah secara tidak tepat.

Yang perlu diperhatikan juga adalah kebiasaan dan cara pembantu, pengasuh atau baby sitter di rumah ketika orang tua sedang tidak berada di rumah, terutama para pengasuh yang kurang berpengalaman dan tidak mendapat pelatihan yang baik, sering memakai kata-kata bernada tinggi dan gertakan atau gerutuan ketika telah kehabisan cara dalam menghadapi anak yang rewel dan merengek atau ketika anak tidak berhenti menangis.

“Tapi aku nggak suka main piano yah…” Vino (11 tahun) memprotes keputusan ayahnya yang tiba-tiba telah mendaftarkannya ke sebuah les piano. “Vino, sini, dengarkan ayah, les piano bagus untuk Vino, anak-anak teman ayah juga banyak yang ikut les piano, dan mereka sekarang sudah bisa ikut festifal kemana-mana, ayah mau Vino seperti itu ya, ayah nggak mau dengar lagi, pokoknya Vino harus mau”, kata ayah Vino memberi alasan.
“Tapi Vino kan sudah pernah bilang ke ayah, Vino kan pengen kursus karate yah… “
“Buat apa karate karate segala, nggak perlu itu”
“Tapi yah, aku nggak mau..”
“Vino!!..!, ayah sudah ambil keputusan, pokoknya tiap Selasa dan Kamis sore ayah akan antar kamu ke les piano, titik.”

Setiap anak memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan keputusan yang menyangkut dirinya. Meski anak-anak adalah manusia baru, tetapi di sisi lain itu bukan berarti mereka tidak tahu apa-apa, mereka juga membutuhkan ekspresi pemikiran dan penyampaian pendapat. Anak-anak secara alamiah memiliki keinginan sendiri dalam hidupnya, mereka memiliki hidup dan dunianya. Sayangnya tanpa sadar kita sering menginginknan anak-anak menjadi apa yang kita mau karena ego kita, gengsi kita ketika melihat anak teman bisa melakukan banyak hal, dan berprestasi. Kita sering terjebak keinginan dan impian sendiri, dan celakanya lagi tanpa disadari anak kita menjadi sarana pemuas pencapaian keinginan kita demi kebanggaan dan gengsi.

Kalaupun mungkin keinginan anak tersebut benar-benar tidak tepat atau membahayakan dirinya maka bukan sebuah gertakan dan pemaksaan yang menjadi jawabannya. Anak yang pendiam, pemurung adalah indikasi kekerasan psikis yang berhubungan dengan emosi ini, pada tingkat yang lebih jauh anak akan menjadi seorang pemberontak bahkan demonstrator yaitu selalu menunjukkan penolakan dan konta pendapat dengan orang tuanya dalam rangka menunjukkan protes. Tapi bukannya simpatik yang didapat si anak, yang ada anak malah semakin berada dalam posisi dipersalahkan dan dianggap bandel. Kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa sikap memberontak anaknya itu adalah rangkaian dari kekecewaannya yang terdahulu.

Boni (8 tahun) dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena memecahkan vas bunga saat dia bermain bola di ruang tamu, begitu ayahnya tahu, tanpa dialog pembuka terlebih dahulu, , langsung saja berbagai kata kasar keluar dari emosi sang ayah. Boni hanya diam dan tertunduk, tapi tahukah sang ayah apa yang ada dalam pikiran Boni ketika dia tertunduk? Ketakutankah? Rasa dendamkah? Kebingungankah?

Lalu pelajaran apa yang didapat dari omelan itu, akankah mereka kemudian akan berbuat sopan dan disiplin? Ya, tapi disiplin yang muncul adalah disiplin karena rasa takut, bukan disiplin karena kesadaran dan pemahaman. Suatu ketika mereka berbuat kesalahan lagi dan tanpa adanya saksi yang melihat akankah mereka akan berani mengakui kesalahnnya?

“Aduh gimana nih aku nggak sengaja mecahin guci, aduh sebaiknya aku ngaku nggak ya? bilang nggak ya? ketahuan nggak ya? eemmm…dulu aja cuma mecahin vas dimarah-marahinin dan dihukum ayah sampai berhari-hari, ah mending diem aja ah, ngapain juga mengaku, ntar aku dimarahin lagi, biarin aja ah…” Itu adalah apa yang ada dalam pikiran Boni atau anak-anak lain sebagai efek trauma hukuman yang tidak tepat. Mereka akan belajar berbohong demi menyelamatkan diri, dan inilah pelajaran yang mereka petik itu, sebuah pelajaran yang sangat beresiko tinggi jika kelak terbawa hingga dewasa.

Anak-anak adalah manusia baru, jika mereka berbuat kesalahan bukan berarti mereka bodoh, tolol, atau tak tahu diri. Mereka butuh bimbingan untuk memilih cara yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Berdialaog baik-baik, tentu dialog ini disesuaikan dengan usia anak, duduk bersama dan biarkan anak-anak menceritakan kejadian atau kesalahan yang baru dilakukannya. Poin pentingnya adalah hargai dan beri pujian ketika anak bisa menceritakan kesalahannya, besarkan hatinya ketika anak mau mengakui kesalahan, lalu stop mengungkit ungkit kesalahan anak yang sudah berlalu. Berikan konsekuensi yang tepat, mendidik serta tetap menempatkan anak dalam posisi yang terhormat, maksudnya bahwa konsekuensi atau hukuman yang diberikan jangan sampai menjatuhkan mental dan kepercayaan diri anak, seperti disuruh berdiri di halaman rumah, dikunci di luar rumah atau hukuman lain dengan cara yang memalukan. Bahkan hingga saat ini, di sekolah pun masih banyak penerapan hukuman yang membuat anak tersiksa secara psikis, dijemur di bawah terik matahari atau membersihkan kamar mandi, ketika dia tahu teman-temannya melihat dia dihukum dan teman-temannya pun menertawakannya maka hukuman itu akan menjadi luka hati yang parah dan berbekas dalam waktu lama.

Luka hati yang membekas lama juga sering dialami oleh anak yang sering dibanding-bandingkan dengan sepupu atau anak tetangga yang kebetulan berprestasi lebih bagus. ” Tuh kan Alya aja selalu dapat rangking satu terus, kamu ini selalu bikin ibu malu, nilai apaan ini rangking sepuluh besar aja nggak pernah bisa, ah memang dasar kamu itu….” Demikian kalimat yang selalu di dengar Ani (12 tahun), kalimat yang selalu muncul dari mulut ibunya setiap kali penerimaan raport dan membandingkannya dengan Alya teman sekelasnya yang kebetulan rumahnya juga berdekatan.

Ani memang sedikit lambat dalam memahami pelajaran, bukan karena tidak mau belajar, tapi kemampuannya memang sebatas itu. Banyak anak yang seperti Ani, sedikit kurang beruntung karena kemampuan otak yang memang berbeda-beda pada tiap manusia, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti gizi atau bisa jadi adalah kekurangan yang merupakan bawaan sejak lahir. Anak yang merasa gagal sebenarnya sudah tertekan dengan kegagalannya sendiri tapi masih ditambah lagi dengan penjatuhan mental yang merupakan pelapiasan kekecewaan dari orang tuanya, dengan penyebutan atau labelling misalnya dengan kata dasar malas atau anak bodoh. Labelling hanya akan menyebabkan perilaku dan sikap yang lebih parah, labelling bisa menimbulkan anggapan kepalang tanggung atau terlanjur basah, “toh aku sudah dijuluki anak bodoh ngapain juga aku belajar kan sama saja.” Belum lagi timbul perasaan dendam dan kebencian yang tidak disadari tumbuh perlahan terhadap anak yang selalu dijadikan bahan perbandingan dengan dirinya. Ani tanpa sadar bisa menaruh kebencian kepada Alya, padahal Alya tidak bersalah.

Kemudian yang perlu selalu dipahami bahwa kita harus melihat anak dengan perspektif Multiple Intelligences, setiap anak selalu memiliki potensi kecerdasan masing-masing, termasuk di dalamnya antara lain kecerdasan musikal, spasial, interpersonal maupun intrapersonal. Multiple Intelligences ini sama sekali tidak diukur hanya sebatas melalui nilai raport.

Anak butuh support, dan bentuk support yang paling sederhana tapi membuat anak memiliki rasa percaya diri adalah pujian dan reward. Jangan pelit memberikan pujian kepada anak, sekalipun pencapaiannya belum maksimal, tapi berikan pujian atas usahanya. Lalu reward atau hadiah adalah sangat penting bagi anak, tentu disesuaikan sebatas pencapaiannya. Berbicara mengenai reward, kita sering lupa bahwa kebutuhan anak adalah disayangi dan wujud rasa sayang itu, bisa berupa pelukan, ciuman sayang, dan belaianpun bisa menjadi hadiah yang sangat berkesan bagi anak.

Kekerasan psikis tidak banyak kita sadari telah kita lakukan pada anak-anak kita, anak didik ataupun anak-anak disekitar kita. Sekali lagi harus dipahami anak adalah manusia baru yang masih belum banyak tahu apa-apa didalam kehidupannya, hal ini jarang disadari dan membuat kita terlalu berlebihan ketika mereka berbuat kesalahan. Anak anak belajar dari dunia di sekelilingnya, meniru, ikut-ikutan dan menjiplak apa yang dilihat dan didengarnya. Anak-anak betindak hanya berdasakan kesenangan, dan memang seperti itulah dunia anak-anak.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *