Dimuat di Harian Jogja
Herlita Jayadiyanti
Memang repot ya kalau anak seusia Shinta belum bisa toilet training, apalagi kalau diajak bepergian atau harus melakukan perjalan yang jauh. Disekolahpun, apabila teman dan lingkungannya tidak siap atau belum bisa memahami kondisi Shinta bisa saja malah jadi bahan olok-olokkan, tapi harapan saya semoga itu tidak terjadi ya. Jangan khawatir pak, setiap masalah pasti ada solusinya dan tidak ada kata terlambat. Semoga uraian saya berikut dapat membantu permasalahan bapak
Faktor apa saja sih yang menyebabkan anak buang air besar dan kecil dicelana?
1. Terlalu lama menggunakan diapers
Anak-anak
yang terus dipakaikan diapers tak akan pernah terlatih mengendalikan
kapan saatnya BAB maupun BAK. Orang tua pun jadi sulit mengontrolnya.
2. Sering mendapat paksaan
Anak
belum saatnya mau BAB tapi tetap dipaksa, hingga ia harus nongkrong
sekian lama di pot/WC. Atau, anak dimarahi karena tak juga mengeluarkan
feses/kotorannya. “Terlebih setelah anak bangkit dari pot atau keluar
dari WC, hanya beberapa saat kemudian ternyata fesesnya keluar di
celana, biasanya orang tua langsung hilang sabar hingga dimarahilah si
anak,” tutur psikolog pada Lembaga Psikologi Terapan UI ini.
Padahal,
pemaksaan maupun kemarahan orang tua hanya akan menimbulkan
pembangkangan dari anak. Salah satunya, sering BAB di celana tapi feses
yang keluar cuma sedikit. “Hal ini terjadi lantaran anak menahan
sekaligus mengeluarkan.” Atau, ia malah sengaja menahan BAB-nya. Jadi,
sekalipun ia ingin BAB, tapi akibat pemaksaan dan kemarahan tadi, malah
sengaja enggak dikeluarkan.
Tentunya,
dengan si kecil menahan BAB, bisa berakibat perutnya terasa
penuh/kembung, hingga akhirnya ia jadi rewel. Dampak lain, senses atau
kepekaannya jadi ikut terpengaruh. Artinya, ketika saat BAB benar-benar
tiba, ia tak lagi peka merasakannya, hingga akhirnya malah kebablasan
BAB di celana.
3. mencari perhatian
lantaran
ia berharap orang tuanya mau memperhatikan dirinya. “Boleh jadi karena
ada hal tertentu yang menyebabkan perhatian orang tua berpaling darinya
seperti kelahiran adik.” Nah, bila si kecil menjadikan kebiasaan jelek
ini semata-mata untuk menarik perhatian, saran Mayke, orang tua sangat
diharapkan tak menunjukkan sikap panik/heboh atau lebih meledak marah.
Soalnya, cuma akan memancing si kecil untuk mempertahankan sikap
negativistiknya (membangkang). “Namun bila kita bisa menahan diri,
diharapkan anak pun bisa meredam sikap negativistiknya.”
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mengenalkan toilet training ?
1. Sediakan wadah atau tempat khusus
Jadi,
kita bisa memulai pelatihan saat si kecil menunjukkan tanda-tanda ingin
BAB, dengan menyediakan pot khusus untuk BAB agar ia merasa nyaman di
situ. Ajak si kecil duduk di potnya sambil kita mengatakan, “Oh, Adek
mau pup, ya? Yuk, duduk di pot!” Dengan begitu, si kecil jadi
mengasosiasikan keinginannya untuk BAB dengan keharusan dari kita untuk
duduk di pot tersebut. Ia akan menangkap, “Oh, kalau aku merasakan sakit
perut seperti ini, berarti aku mau pup dan aku harus duduk di pot.”
2. Yakinkan anak bahwa akan lebih nyaman buatnya jika buang air kecil dan buang air besar di toilet.
4.
Jika anak tidak mau ke toilet karena alasan kotor, gelap atau jijik
maka buatlah kamar mandi menjadi tempat yang menyenangkan untuknya.
Pakailah lampu yang terang, cat tembok dengan warna cerah, kalau bisa
beri gambar yang menarik dan usahakan kamar mandi selalu dalam keadaan
bersih.
5. Temani anak pada saat
buang air kecil atau besar, dan ajarkan menggunakan toilet juga cara
membersihkan penis/ vagina serta duburnya.
6. Ingatkan anak agar segera pergi ke toilet bila dia merasa ingin buang air kecil / besar.
7. konsisten
Namun
kita harus konsisten, lo. Artinya, tiap kali si kecil memperlihatkan
tanda-tanda yang sama, kita mengajaknya duduk di potnya. Tentu seiring
dengan meningkatnya usia, pelatihan BAB dari di pot dipindah ke WC.
Hingga akhirnya si kecil tahu bahwa kalau mau BAB harus di tempatnya,
bukan di celana. Ia pun jadi terlatih untuk mengendalikan kapan saatnya
BAB.
8. peka terhadap kondisi anak
Jadi,
tegas Mayke, kebiasaan batita yang suka menahan BAB ataupun yang
mengeluarkannya sedikit demi sedikit, memang bergantung pada toilet
training yang diberlakukan orang tua. Apalagi jika anak memang belum
siap tapi orang tua terlalu menekankan toilet training yang berlebihan,
tentu tak bisa diharapkan hasil yang positif. Misal, si kecil baru usia
setahun tapi sudah dipaksakan duduk di kloset. “Secara fisiologis,
kemampuan atau kematangan tubuh anak usia setahun, kan, belum mungkin
untuk melakukannya.”
Itu sebab, kita
dituntut untuk mencermati mengapa si kecil suka menahan BAB, apakah
lebih karena faktor fisiologis atau sebab lain? Bisa jadi, kan, si kecil
kala itu pencernaannya sedang ada gangguan, hingga ia mengalami
kesulitan BAB. Jadi, penyebabnya lebih karena faktor organis; ia
mengalami konstipasi atau sembelit. Untuk mengatasinya tentu bukan
dengan toilet training, tapi perhatikan makanan yang dikonsumsi si
kecil. Artinya, penuhi semua kebutuhan zat makanan anak secara seimbang,
terutama serat seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang bisa membantu
melancarkan BAB. Namun bila keseimbangan zat makanan sudah terpenuhi,
ternyata si kecil tetap mengalami gangguan, kita perlu introspeksi diri.
“Perbaiki interaksi antara orang tua dan anak. Bila dirasa orang tua
tak mampu melakukannya, tak ada salahnya minta bantuan pada para
profesional.”
9. tiap anak unik
Tak
kalah penting, kita wajib melihat keunikan tiap anak. “Ada anak yang
mudah sekali diatur, dalam arti beberapa kali latihan saja sudah bisa
berjalan dengan lancar dan nyaris tak pernah mengalami ‘kecelakaan’.
Namun tak sedikit pula anak yang sulit dan mungkin butuh waktu
berminggu-minggu untuk bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan
sekaligus menyelesaikan tugas dengan baik,” papar konsultan ahli
psikologi anak di nakita ini.
Dengan
menyadari perbedaan tersebut, kita jadi tak mudah putus asa ataupun
menyalahkan si kecil kala ia tak kunjung bisa mengeluarkan fesesnya,
melainkan “menghibur”nya, “Oh, pup-nya susah keluarnya, ya, Dek? Enggak
apa-apa, kok. Nanti kita coba lagi, deh.” Sedangkan bila di lain waktu
ia berhasil seperti yang kita harapkan, “Jangan pelit untuk memberinya
pujian.”
Kapan anak siap mendapat toilet training ?
– Kebiasaan buang air besar sudah agak teratur.
– Popoknya tidak selalu basah, yang menanandakan bahwa kandung kemihnya telah dapat menyimpan urin.
– Si kecil sudah mulai mengikuti instruksi yang diberikan.
– Anak mulai memperlihatka ketertarikan untuk meniru anggota keluarga lain di kamar mandi.
–
Melalui kata-kata, ekspresi wajah atau perubahan aktivitas, anak
memberikan tanda kalau kandung kemihnya penuh atau ia ingin buang air
besar.