Kesukaan anak vs kesukaan orangtua

Bagi sebagian besar orangtua, pasti menyenangkan jika kesukaan atau keinginannya sama dengan kesukaan atau keinginan anaknya. Sayangnya, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya. Yang disukai anak, justru dilarang oleh orangtuanya. Sementara yang disukai orangtua, anak setengah mati menghindarinya. Kadang hal iini bisa memunculkan konflik antara orangtua dan anak. Perbedaan kesukaan ini biasanya muncul dalam situasi yang menimbulkan pilihan, misalnya menentukan tujuan perjalanan, membeli barang, penggunaan alat. Bisa terjadi juga pada kegiatan harian seperti makan, waktu mandi, merapikan barang, dll. Lalu apa yang bisa dilakukan orangtua agar perbedaan kesukaan ini tidak menimbulkan konflik?

Mengapa anak dan orangtua bisa beda keinginan? Selera setiap orang bisa berbeda. Kita punya hal-hal yang kita suka dan tidak suka, anak juga punya. Wajar jika kesukaan itu berbeda. Masalahnya bisakah kita sebagai orang dewasa menghargai anak?

  • Beda sudut pandang. Biasanya kita memandang dari sudut apa ketertiban, kebersihan, kepraktisan. Anak mungkin memandang dari sudut kesenangan, kemeriahan, kebanggaan. Misalnya kita lebih senang jika anak menyimpan hasil karyanya dengan rapi, tapi anak lebih senang membiarkannya bergelantungan karena ia bangga dengan itu.
  • Tahap perkembangan emosi anak: egosentris. Di usia awal, anak memandang dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu. Anak mengira semua orang bisa mengerti dan sepakat denga napa yang ia mau. Keterampilan empati anak belum berkembang dengan baik. Itu mengapa ia tidak mengerti mengapa kesukaannya menggambar di dinding membuat kita gerah.

Kapan perbedaan keinginan/kesukaan bisa menimbulkan konflik?

  • Konflik bisa terjadi kalau orangtua sama egosentris dengan anak, sehingga memaksakan kehendaknya. Kadang anak sekedar dilarang ‘’tidak boleh berantakan! Tidak boleh corat-coret tembok!”. Tanpa solusi sehingga anak cenderung melakukannya lagi. Konflik bisa juga terjadi kalau anak mengalami hambatan untuk mengungkapkan keinginannya, bisa karena keterampilan komunikasi yang belum memadai atau karena tidak berani. Karena tidak mampu mengungkapkan apa yang menjadi maunya, anak bisa kesal dan kadang menimbulkan perilaku yang membuat kita semakin tidak jelas apa maunya. Sebaliknya, penjelasan dari orangtua yang kurang dimengerti anak juga bisa jadi menjadi peluang munculnya konflik.

Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua?

  • Bicara dengan anak, bantu anak mengemukaan perasaanya. Sebaiknya kita berusaha mencari tahu mengapa anak senang dengan hal itu. Misalnya anak senang mencoret dinding karena penampangnya yang luas. Dengan begitu kitab isa menawarkan solusi yang pas. Jika perlu bantu anak untuk menjelaskan apa yang ia mau. Bisa mengemukaan ide merupakan salah satu keterampilan hidup yang penting.
  • Menjelaskan harapan kita, bukan mengatur lalu tawarkan solusi. Orang tua boleh menjelaskan apa yang disukai atau tidak disukainya, lalu setelah itu mencari jalan keluarnya bersama anak. Misalnya ‘’ayah ingin dinding rumah kit aini bersih dari coretan, bagaimana kalau kita buatkan papan raksasa yang bisa kamu gambari?’’. Kesalahan yang sering terjadi adalah orangtua langsung memberi tahu apa yang harus dilakukan anak, tanpa penjelasan. Akibatnya anak jadi tidak kooperatif atau kooperatif tapi terpaksa.
  • Jika bukan masalah krusial, biarkan anak mendapatkan keinginanya. Kalau masalahnya hanya kita ingin anak memakai gaun pink tapi memilih baju biru, mengapa harus diributkan. Anak butuh ruang untuk mengekspresikan apa yang dia mau. Untuk itu jika hal yang tidak terlalu penting (tidak berakibat pada kesehatan, keamanan anak atau kenyamanan lingkungan)  maka berikan kebebasan anak untuk memilih yang disukainya. Pengalaman ini penting untuk membangun keterampilan anak dalam membuat keputusan (decision making) saat ia dewasa nanti. Anak yang terlalu diatur untuk hal-hal kecil, tidak mendapat cukup kesempatan untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian, sehingga nanti untuk hal yang sekecil apapun dia akan bertanya dulu ke orangtuanya, tidak bisa memutuskan sendiri. Tentu kita tidak ingin anak kita seperti itu kan?

Hasanaf Safriyani, Psikolog

Harian Jogja, 8 Maret 2009

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *