… ketika kita memberi “ruang” atau “space” untuk anak mengekspresikan pemikiran dan perasaannya serta mengeksplorasi berbagai hal yang menjadi ketertarikannya, akan banyak hal menakjubkan yang muncul.
Sekolah Rumah Citta, sekolah laboratorium yang dikelola ECCD-RC Jogja, dalam kesehariannya menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak/murid (student-centered education). Dalam prosesnya, seringkali muncul kejutan-kejutan yang menyenangkan. Berikut ini adalah salah satu pengalaman dari Mbak Ririn Yuniasih yang berkunjung tahun 2016, untuk melakukan satu hari pengamatan* di kelas Pra Sekolah.
* Program belajar dengan observasi kelas, adalah salah satu program Divisi Training, selain program magang dan kunjungan
Memberi “Ruang” pada Anak untuk Menentukan dan Mengambil Keputusan
Ditulis oleh Ririn Yuniasih, PhD.
Beberapa minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi sebuah lembaga pendidikan anak usai dini, untuk melakukan pengamatan, khususnya di kelas Pra Sekolah (anak umur 6-7 tahun). Saya dibuat terkagum-kagum saat mulai masuk kelas dan melihat anak-anak melakukan “circle time“ yang dipimpin oleh anak sendiri.
Ya oleh anak, bukan gurunya. Bukan karena tidak ada guru, karena sebenarnya kelas ini memiliki 2 guru untuk memfasilitasi 14 anak, tapi peran mereka ‘hanya’ untuk memberi ruang dan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan mereka, sekaligus memastikan setiap anak mendapatkan perhatian dan kesempatan.
Yang memimpin “diskusi” pagi itu adalah kapten kelas, untuk menentukan permainan apa yang akan mereka mainkan pagi itu. Dalam diskusi tersebut terjadi “negosiasi” yang cukup seru antar anak, karena ada yang mengusulkan permainan ‘plants vs zombie‘ dan ada anak lain yang mengusulkan ‘candhak dhodhok‘ (seperti main kejar-kejaran). Saya sempat tersenyum-senyum sendiri mendengarkkan “argumen“ yang mereka sampaikan untuk meyakinkan temannya agar mau memainkan permainan yang mereka pilih. Kata-kata seperti ‘Iki gayeng lho’ (Ini seru, lho) atau ‘Ojo kuwi, wis bosen’ (Jangan yang itu, sudah bosan).
Akhirnya mereka sepakat untuk memainkan ‘candhak dhodhok‘ di halaman sekolah. Tapi diskusi seru masih terus berjalan ketika mereka membahas “aturan“ permainan. Salah satu anak mengatakan ‘nanti kalo ada yang ndodok jangan dikentutin, ya’ (Nanti kalau pas duduk jangan dikentutin, ya). Pertama saya dengar agak konyol anak ini, tapi dipikir-pikir bisa jadi itu menjadi isu karena pernah ada pengalaman mereka sebelumnya. Dan memang anak-anak lain … . Baca lanjutannya di SINI: https://ririnwijayakusuma.wordpress.com/2016/12/02/420/.