Menjadi warga negara penganut demokrasi masih menjadi suatu keberuntungan. Rakyat atau warga negara dianggap ‘ada’, memiliki suara dan punya andil dalam memilih atau menentukan arah. Tapi tentu saja, kesempatan ini baru bisa digunakan kalau para warganegaranya punya keterampilan berdemokrasi.
Dan demokrasi bukan hanya urusan orang dewasa. Anak-anak juga berhak terlibat dan merasakan manfaatnya, bukan hanya jadi pihak yang pasif menerima pemikiran atau arahan dari orang dewasa yang (katanya) demokratis.
Untuk memperingati Hari Demokrasi Internasional yang jatuh setiap tanggal 15 September, kami akan berbagi tentang salah satu praktik demokrasi di Lab School Rumah Citta.
Eh, apa? Ya, benar. Anda tidak salah baca. Siswa Rumah Citta, usia 2 – 7 tahun, sudah terbiasa dengan praktek demokrasi dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Tidak apa kalau masih sangsi, bisa dimengerti. Banyak kok teman-teman dewasa yang juga merasakan hal yang sama.
Sampai akhirnya…, mereka berkunjung ke Rumah Citta dan melihat langsung! Setelah itu, teman-teman dewasa ini biasanya akan dengan antusias bertanya tentang cara-cara Mbak/Mas edukator dan staf mengajarkan atau menanamkan nilai-nilai demokratif pada anak usia dini.
Nah, membangun kesepakatan, adalah salah satu cara mengawalinya. Membangun kesepakatan sebenarnya adalah bentuk sederhana dari demokrasi khas Indonesia, yaitu bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Mari kita bedah satu per satu, ya.
Apa Saja Yang Terkandung dalam Proses Membuat Kesepakatan?
Saat membuat kesepakatan, orang dewasa (bisa edukator, atau orang dewasa lainnya) akan hadir sebagai fasilitator, menyampaikan sebuah permasalahan yang perlu didiskusikan. Anak-anak kemudian diberi kesempatan untuk memberi tanggapan atau komentar.
1. Berlatih menyampaikan aspirasi
Anak belajar mengatakan tanggapan, atau keinginannya, sesederhana apapun itu. Kadang memang ajaib atau tidak ‘nyambung’. Nah, disini peran orang dewasa diperlukan untuk membantu memformulasikan.
2. Memberi kesempatan orang lain menyampaikan pendapat
Ketika ada anak yang sedang berbicara untuk menyampaikan pendapatnya, maka anak-anak lain akan diajak mendengarkan sampai pembicara selesai. Dengan cara ini, secara bertahap anak akan merasa nyaman berbicara. Tidak diganggu, tidak diburu-buru, atau dicela.
3. Mendengarkan pendapat orang lain, memahami cara pandang orang lain
Dengan tidak memotong namun mendengar sampai selesai, anak-anak mendapat kesempatan untuk memahami secara utuh maksud dari perkataan temannya yang sedang berbicara.
“Kalau aku sukanya pakai sandal karena cepat pakainya. Kalau Bobi sukanya pakai sepatu karena katanya nggak mudah lepas kalau lari-larian.”
4. Voting atau memutuskan dengan suara terbanyak
Voting sebagai salah satu cara untuk belajar memilih satu dari beberapa pilihan yang ada. Seperti yang kita tahu, minat anak begitu banyak dan beragam. Maka seringkali voting harus dilakukan untuk membantu membuat keputusan.
“Karena waktunya sedikit, kita cuma bisa memainkan satu permainan. Kita pilih permainan yang paling banyak diinginkan semua orang, ya… .”
5. Belajar menerima mufakat
Sering terjadi pada kegiatan memilih tema kelas dimana banyak usulan tapi hanya satu yang bisa diwadahi. Dalam hal ini, anak belajar menerima kesepakatan bersama, walaupun tidak selalu sesuai dengan keinginan atau harapannya.
6. Bertanggung jawab menjalankan kesepakatan bersama
Kesepakatan mengandung konsekuensi untuk semua pihak yang terlibat. Ketika ada anak yang tidak menjalankan kesepakatan, maka anak-anak lain akan mengingatkannya. Dengan demikian, menegakkan kesepakatan menjadi tanggung jawab bersama.
“Kesepakatannya kan kalau di perpustakaan cukup berjalan saja. Aku lihat tadi kamu berlari sewaktu masuk. Ayo, kamu ulangi masuk dari pintu dengan berjalan saja.”
Nah, bagaimana? Banyak nilai-nilai demokratif yang bisa diejawantahkan dengan sederhana untuk anak, bukan? Tertarik mencoba? Ayok! Bisa lho diterapkan di lingkungan sekolah maupun rumah. Cara-caranya pun bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan.
Memang, tidak serta merta ekosistem demokrasi terbentuk. Tidak dalam hitungan hari. Pada tahap awal, anak-anak pasti akan membutuh pembiasaan dan contoh dari orang-orang dewasa. Orang dewasa juga perlu menyediakan lingkungan yang mendukung hal ini. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, silakan baca artikel Bagaimana Orang Dewasa Menciptakan Lingkungan yang Demokratis untuk Anak?
(MK/Titis Lailaningtyas. Ilustrasi: Bondan Sangaji S.)
Pingback: Lingkungan Demokratis untuk Anak, Bagaimana Caranya? | ECCD RC Yogyakarta