Dimuat di Buletin RC
Hasanah Safriyani, Psi
Laki-laki
muda itu duduk di depan saya. Caranya berpakaian khas anak remaja saat
ini. Parasnya yang hitam manis berpadu kontras dengan ekspresinya yang
tampak kurang lepas. Kisah yang dia paparkan, membuat saya tercengang
“
Saya bingung sama diri saya sendiri. Saya itu susah sekali
mengendalikan emosi. Setiap kali saya marah, saya pasti ingin menghantam
atau memukul sesuatu. Dulunya saya sering memukul siapa saja yang
membuat saya kesal. Jadinya berantem deh. Setelah kuliah ini, saya nggak
mau lagi bikin masalah. Makanya kalau saya kesal atau marah, saya
alihkan ke benda mati. Mbak mau tau apa akibatnya? Semua barang saya
rusak. Minggu lalu saya ditegur ibu kost saya gara-gara pintunya hampir
jebol saya tendang. Semua barang saya, kipas angin, tape, computer semua
jadi error gara2 saya pukul atau lempar. Sudah gila saya barangkali,
tapi kalo nggak gitu, saya pasti sudah menyakiti teman2 kuliah saya,
lebih gila lagi kan? Belum lagi kalau mereka semua balas mengeroyok
saya, bisa habis saya.
Baru-baru ini ada
kejadian yang bikin saya sadar dan menyesal. Waktu itu pacar saya datang
ke kost, kami bertengkar. Entah bagaimana jalan ceritanya, tiba-tiba
saya pukul dia. Dia pingsan. Saya nggak bisa memaafkan diri saya sendiri
gara-gara kejadian itu….”
Jeda sebentar. Dia berhenti untuk menarik nafas. Mulailah saya bertanya tentang masa kecilnya
“Orang
tua saya adalah orang yang dihormati di kampung saya. Apapun yang
beliau inginkan pasti orang akan memenuhi. Ayah punya banyak anak buah.
Setiap anak buahnya melakukan kesalahan, pasti akan kena pukul. Saya
juga mendapat perlakuan yang sama. Kalau saya salah, saya akan kena
pukul. Kalau saya bersalah dengan kakak saya, selain ayah, kakak juga
pukul saya. Kalau teman saya membuat saya marah, berarti dia salah, saya
pukul dia. Kalau sudah dipukul, dia jadi jera. Kalau jera dia nggak
akan berani bikin kesalahan lagi. Sampai SMApun, saya selalu begitu.
Kawan2 saya nggak terlalu berani dengan saya, mereka tahu ayah saya.
Tapi disini, saya nggak bisa begitu lagi, mereka nggak tahu ayah saya
siapa. Kalau saya pukul mereka, mereka semua pukul saya, habis saya.
Saya tahu saya harus cari cara supaya nggak main pukul kalau marah. Tapi
gimana? “
Percakapan selanjutnya adalah pembicaraan yang biasa
terjadi dalam konseling, tidak pada porsinya untuk dibeberkan disini.
Tapi satu hal yang ingin saya angkat bahwa apa yang dialami anak, akan
berdampak pada masa depannya. Orang tua pemuda ini mungkin tidak sadar
bahwa mereka telah menancapkan pedang yang menusuk buah hatinya di masa
depan. Tegakah kita melakukannya??
Love, Yani
Catatan: peristiwa di atas adalah peristiwa nyata, percakapan dilakukan bukan di ECCD-RC