Bagaimana Orang Dewasa Menciptakan Lingkungan yang Demokratis untuk Anak?

Artikel sebelumnya: MEMBUAT KESEPAKATAN: Belajar Demokrasi ala Sekolah Rumah Citta

Sikap aktif dan berani berpendapat tidak serta merta dimiliki oleh seorang anak. Ada cara-cara yang perlu ditempuh oleh orang tua atau orang dewasa untuk menumbuhkan dan menguatkannya. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dicoba:

1. Berikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat.

Anak-anak perlu tahu bahwa mereka juga boleh menyampaikan pikiran atau pendapatnya, apalagi jika hal itu menyangkut dirinya. Contoh: “Bagaimana menurutmu kalau libur sekolah besok kita pergi ke pantai?”

“Bagaimana menurutmu kalau …?”
“Bagaimana pendapatmu tentang …?”
“Menurutmu sebaiknya bagaimana?”

Untuk anak yang lebih kecil (usia 2 – 4 tahun), kata tanya ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ mungkin masih susah dipahami sehingga agak sulit mereka jawab. Untuk itu bisa diganti dengan pertanyaan tentang ‘apa, siapa, dimana’ atau ‘kemana’. Dengan sedikit kreativitas, keempat kata ini bisa digunakan untuk memancing pendapat anak yang lebih kecil. Misal, “Kamu lebih suka pergi kemana? Ke pantai atau ke kebun binatang?”

2. Biasakan mendengarkan cerita anak hingga selesai.

Saat bercerita, beberapa anak masih terbata-bata menyusun kalimat, atau bicaranya belum jelas. Beberapa akan terdiam cukup lama untuk mengingat-ingat atau menemukan kata-kata. Sebaliknya, ada pula yang bicara terus tapi tidak jelas maksudnya. Seringkali menguji kesabaran, memang.

Nah, tiap kali mulai merasa gemas, ingatlah bahwa pada saat itu anak sedang belajar hal penting bagi hidupnya. Yaitu, mengartikulasikan pikirannya. Ia dalam proses berlatih menata pikiran secara runut tentang sebuah peristiwa, ‘awalnya-lalu-akhirnya’. Terkadang juga tentang logika sebab akibat, ‘jika begini maka begitu’. Buru-buru memotong cerita anak bisa menghambat proses tersebut. Selain menimbulkan rasa tak nyaman, juga dapat mengurangi semangat anak berbicara dikesempatan lain.

3. Beri apresiasi pada pendapat yang dilontarkan anak.

Apresiasi positif akan membuat anak merasa dihargai. Anak merasa senang dan terdorong untuk mengulangi pengalaman positif menyampaikan pendapat ini.

“Waa, boleh juga idemu untuk menu sarapan besok. Ibu terbantu sekali.”

4. Hindari memberi komentar yang berkesan tidak menghargai pendapat anak.

Apalagi jika sebelumnya anak diminta memberi pendapat. Ia akan berpikir, ‘Percuma. Paling juga tidak diterima ideku’. Lama-lama anak jadi enggan berpendapat.

Memang tidak semua pendapat anak bisa diakomodir. Namun kita bisa menggunakan kata-kata yang lebih positif. Misal, “Wah, kalau pagi-pagi masak rendang itu repot, lama banget.” Coba ganti dengan, “Rendang itu ide bagus, tapi Ibu belum punya bumbunya. Apakah kamu punya ide bagus lainnya untuk sarapan?”

5. Sebelum terjebak menghakimi, tanyakan alasan atau tujuan anak mengatakan/melakukan perbuatan itu.

Ketika menemui perilaku anak yang tidak dikehendaki, seringkali orang dewasa terpantik untuk marah. Sebelum marah-marah, ketahui dahulu latar belakang perkataan atau tindakan anak tersebut. Dari pengalaman, seringkali jawaban anak tidak sesuai dengan perkiraan kita semula, dan tidak cukup kuat untuk menjadi alasan kemarahan kita.

Untuk anak yang lebih besar, mungkin cukup dengan bertanya, “Mengapa kamu melakukan/mengatakan itu?” Namun untuk anak yang lebih kecil (usia 2 – 4 tahun), kata ‘mengapa’ masih agak sulit dipahami. Oleh karenanya akan diperlukan beberapa pertanyaan dengan kata tanya lainnya (misal: apa, siapa, kapan, dimana, kemana) untuk mengetahui latar belakang perilakunya itu.

Misal, “Mengapa kamu lari-larian di dalam rumah?” bisa diganti dengan “Kamu lari-larian di dalam rumah ada apa? Mau kemana?”

6. Menyediakan pilihan-pilihan atau alternatif.

Biasakan anak dengan pilihan-pilihan, dalam berbagai hal. Pilihan melatih anak untuk berpikir/menimbang sebelum membuat keputusan, mengetahui apa yang dimauinya, apa yang lebih nyaman untuk dirinya, sekaligus belajar sportif menerima konsekuensi atas pilihan yang diambilnya.

Contoh:
“Hari ini Nina ingin memakai apa, rok atau celana pendek?”
“Besok kita akan berkunjung ke 3 SD, kamu boleh memilih ingin sekolah di SD yang mana.”

7. Daripada membuat ancaman, biasakan untuk memperkenalkan konsekuensi dari setiap pilihan.

“Makannya kok nggak selesai-selesai. Ayah tinggal pergi, lho!”
“Ayo, bereskan mainannya, Kalau nggak dibereskan nanti Mama buang semua.”

Seringkali orang dewasa memberikan ancaman saat mendisiplinkan anak atau meminta anak melakukan sesuatu. Sayangnya, ancaman lebih banyak menimbulkan efek negatif ketimbang positif. Ancaman bisa menghambat kepercayaan diri, menimbulkan ketakutan, atau… pemberontakan.

Alih-alih mengancam, orang dewasa bisa menjelaskan akibat logis dari suatu perbuatan anak sehingga anak bisa mempertimbangkannya.

“Kalau makananmu tidak segera dihabiskan, rasanya jadi tidak enak lagi. Kalau makannya cepat habis, kamu akan punya waktu main lagi bersama Miow.”
“Mainan yang tidak kamu bereskan ini bisa terinjak orang lewat. Kalau rusak, tidak bisa kamu mainkan lagi. Kamu bereskan sekarang, ya.”

Cara lainnya, anak bisa diajak mencari tahu konsekuensinya secara langsung.
“Menurutmu nasi kuah sayur ini kalau tidak segera habis akan jadi gimana?”

8. Ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, fokus pada perilakunya, bukan (pribadi) anaknya.

Yang tidak kita setujui, yang tidak kita sukai, adalah perilaku, bukan pribadi si anak. Dengan fokus pada perilaku, kita meminimalisir kemungkinan anak terluka hatinya, atau merasa tidak dicintai. Dengan memberi komentar yang fokus pada perilaku, orang dewasa memberi kesempatan pada anak untuk berkembang tanpa membuat anak merasa dibenci.

Kamu tuh ceroboh banget. Mainannya nggak pernah diurusi.”
“Ayah lihat kamu tadi lupa membereskan mainan. Ayah harap kamu bisa membereskan mainan setiap selesai main.”

9. Menjadi CONTOH nyata dalam keseharian.

Nah, ini yang juga sangat penting dalam proses belajar anak usia dini. Adanya seorang model atau teladan, kepada siapa dia bisa mendengar, melihat langsung, meniru, dan mengalami cara hidup yang demokratis.

(MK/Titis Lailaningtyas. Ilustrasi: Bondan Sangaji S.)

Baca juga: MEMBUAT KESEPAKATAN: Belajar Demokrasi ala Sekolah Rumah Citta

1 thought on “Bagaimana Orang Dewasa Menciptakan Lingkungan yang Demokratis untuk Anak?”

  1. Pingback: Ajak Anak Belajar Demokrasi lewat Kesepakatan | ECCD RC Yogyakarta

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *