Disleksia bukan penyakit

Disleksia (dyslexia) bukan penyakit , tetapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh anak-anak (bisa dideteksi saat usia 3 tahun). Umumnya, masalah pembelajaran yang dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan menganalisa. Oleh karena itu dyslexia biasanya mengarah pada mereka yang menghadapi masalah untuk membaca dan menulis walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal ( untuk mengetahui apakah orang tersebut disleksia atau tidak harus melalui tes IQ terlebih dahulu. Dan IQ harus diatas 70). Maka mereka yang mengalami Disleksia dapat dipastikan adalah orang yang tidak mengalami kecacatan, gangguan pendengaran atau penglihatan dan kebodohan, malah sebagian dari mereka adalah orang-orang dengan intelektual yang tinggi.

Kenapa harus ada tes? Karena orang yang sulit membaca karena hambatan visual dan auditory ( bukan karena gangguan otak ) hanya butuh kacamata tidak perlu terapi disleksia. Anak-anak yang sulit membaca karena trauma, pernah mengalami pelecehan seksual, cemas berlebih ( bukan karena gangguan otak ) butuh penanganan terapi psikis bukan disleksia. Masyarakat miskin yang tidak bisa membaca karena fasilitas juga tidak bisa diterapi disleksia. Disleksia terjadi akibat kerja otak yang berbeda daripada keadaan yang normal. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh kecacatan pada otak saat pembentukan didalam kandungan.

Kenali cirinya

Disleksia dapat dikenali melalui beberapa ciri-ciri yaitu lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya dan tidak dapat mengucapkan kata-kata secara benar. Selain itu lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya. Serta sulit dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Tanda lain disleksia adalah sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata. Juga sulit mengeja secara benar. Bahkan mungkin anak akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Ciri disleksia yang lain sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b – d, u – n, m – n. Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman lainnya. Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca. Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya kata ”gajah” ducapkan menjadi ”gagah”, “pelajaran” dibaca “perjalanan”. Ada juga yang rancu dengan kata-kata yang singkat, misalnya ke, dari, dan, jadi. Bingung menentukan tangan mana yang dipakai untuk menulis. Lupa mencantunkan huruf besar, serta lupa meletakkan tanda-tanda baca lainnya, seperti titik atau koma.

Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik/ tulisannya jelek sekali, misalnya terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun. Punya kebiasaan membaca terlalu cepat hingga salah mengucapkan kata atau bahkan terlalu lambat dan terputus-putus. Yang terakhir adalah rancu dalam memahami konsep kiri¬kanan, atas-bawah, utara-selatan, timur-barat. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama.

Penanganan

Apabila orangtua dan guru mulai mencurigai bahwa anak mengidap disleksia, hendaknya segera berkonsultasi dengan psikolog atau klinik/ sekolah pengajaran khusus (special education) untuk mendapatkan informasi mengenai cara penangan yang tepat. Karena bukan penyakit maka disleksia tidak boleh diobati. Disleksia hanya boleh ditangani oleh psikologi atau terapis disleksia. Pengidap disleksia umunya akan diberi terapi untuk meningkatkan kemahiran linguistik, berfikir, dan sosial.

Oleh Herlita Jayadianti- Koordinator Divisi Media Kampanye ECCD-RC Jogja

Pernah dipublikasikan oleh media cetak Harian Jogja 13 Juni 2010

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *