Oleh Herlita Jayadianti (Koordinator Media Kampanye ECCD-RC)
Setiap orangtua memiliki cara mendidik anak masing-masing, termasuk dengan cara memberikan hukuman. Meski tujuannya baik, kadang hukuman yang diberikan pada anak menjadi keblabasan dan akhirnya berubah ke hukuman fisik. Memang sih anak lalu jadi penurut, manut, dan bisa ‘dijinakkan’ tapi apa ya seterusnya begitu? Pastinya tidak, anak hanya akan nurut sesaat dan besok-besok nakalnya malah makin menjadi karena anak jadi kebal dan makin melawan. Biasanya orangtua yang melakukan kekerasan pada anak didasarkan pada alasan-alasan seperti dibawah ini:
- Anak adalah hak prerogative: bagi sebagian orangtua cara mendidik anak adalah hak prerogratif mereka. Terserah mereka bagaimana caranya. Sebenarnya paradigma keliru ini harus segera diakhiri. Sudah saatnya orangtua menyadari, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dihargai. Hak-hak itu antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh dan berkembang optimal: memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.
- Nilai atau pemahaman di masyarakat: disadari atau tidak, penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah dan lumrah. Tidak salah juga karena kekerasan sendiri berada di daerah ‘abu-abu’, tidak baik tapi kadang efektif juga untuk menegakkan disiplin. Terlepas dari ada dampak negatifnya atau tidak, Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan yang pada gilirannya menjadi ‘lingkaran’. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya.
Sedangkan dampak hukuman fisik yang diterima anak:
- Anak jadi frustasi: dengan hukuman atau kekerasan yang dilakukan pada anak, baik itu fisik ataupun verbal anak bisa saja jadi frustasi. Hal ini terjadi terutama jika anak tidak mengerti kenapa ia dihukum atau mendapat kekerasan.
- Anak jadi agresif: hukuman fisik malah akan mendorong anak untuk bertingkah laku agresif. Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.
- Mempengaruhi tumbuh kembangnya: anak yang mengalami kekerasan atau hukuman baik itu fisik atau verbal bisa saja tumbuh dengan fisik dan mental yang tidak berkembang optimal, karena disengaja atau tidak pukulan, tamparan, cubitan, atau yang lain bisa merusak saraf-saraf anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Semoga bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Hak anak sudah tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, disusul disahkannya Undang-Undang (UU) No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang mencantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran haka nak. Bahkan, pasal 80 UU Perlindungan Anak menyebutkan, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak, dimana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orang tuanya sendiri.