Kerja atau anak?

Tanya:

Saya memiliki seorang anak, masih 6 bulan. Saat ini anak saya diasuh oleh seorang pengasuh yang dating pagi dan pulang sore, setelah saya pulang. Tidak ada masalah dengan pengasuh anak saya. Hanya kadang saya merasa bersalah karena pulang terlalu sore lebih sore dari jam pulang kerja saya. Akibatnya jam saya bersama anak menjadi terkurangi. Sebetulnya mana yang harus saya dahulukan, profesionalisme bekerja atau menjaga anak. Apakah profesionalisme bekerja itu bisa diartikan bekerja melebihi tenggat waktu yang disepakati? Maaf kalau pertanyaan saya agak menyimpang, terimakasih atas jawabannya.

Bu Tuti_Sewon

Jawab:

Bu Tuti yang saya hormati, ibu mana yang tidak ingin menghabiskan waktu bersama anaknya. Apalagi usia anak ibu saat ini 6 bulan, pasti setiap hari mengalami perkembangan baru yang mengejutkan dan membahagiakan. Saya bisa memahami jika ibu merasa bersalah karena tidak banyak melewatkan waktu bersama sang buah hati. Membahas tentang profesionalisme, sepemahaman saya tidak berarti harus bekerja di luar tenggat waktu yang disepakati. Karena arti kata ‘waktu yang disepakati’ artinya baik organisasi/perusahaan dan karyawan, masing-masing sudah mempertimbangkan kebutuhan kondisi masing-masing. Misalnya jam kerja 8 jam, artinya organisasi sudah mempertimbang bahwa 8 jam sehari itu cukup untuk seseorang melakukan pekerjaan sesuai uraian pekerjaanya. Begitu juga karyawan sudah sepakat meninggalkan keluarga 8 jam dengan kompensasi yang ditawarkan. Artinya lebih dari itu sifatnya boleh, bukan wajib.

Maka jika ibu ingin seimbang antara profesionalisme dengan mengasuh anak, pertimbangkan jam kerja ibu. Apakah terlalu Panjang atau tidak. Secara umum orang bekerja 8 jam sehari. Lebih dari itu ibu perlu tinjau lagi, terlalu lama atau tidak. Bolehkah menengok anak di tengah-tengah jam tersebut. Jika ibu sudah sepakat dengan jam kerjanya, pertimbangkan jam berapa ibu harus meninggalkan tempat kerja. Pulang tepat waktu saya kira adalah pilihan yang sebaiknya diambil. Karena itu akan menuntut ibu untuk bekerja secara lebih efektif. Dengan begitu, saat ibu kembali kerumah, waktunya bisa 100% untuk sang buah hati tanpa terbebani dengan memikirkan pekerjaan yang tidak selesai. Pilihan ini juga sebaiknya juga disosialisasikan ke teman-teman sekerja dan atasan. Sehingga yang lain bisa memahami dan tentu saja ibu dituntut untuk membuktikan bahwa hasil kerja tetap baik meski selalu pulang tepat waktu. Demikian Bu Tuti, semoga bermanfaat.

Harian Jogja, 15 November 2009

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *