KONSULTASI Dunia Anak

Anak Keras Kepala

Tanya,

            Saya ibu pekerja dengan dua anak. Anak pertama saya usia 5 tahun duduk di TK kecil. Saya kadang stres menghadapi sifat keras kepalanya. Setiap hari selalu saja saya dibikin marah oleh perilakunya. Misalnya, tahu kalau setiap pagi berangkat pukul 6:30 masih saja lambat dalam mengerjakan sesuatu, hingga membuat saya tidak sabar dan akhirnya harus teriak-teriak memberi tahu dia.

Ketika harus menyelesaikan PR-nya juga harus melalui proses dibentak-bentak, dan yang saya merasakan kesulitan adalah sifatnya yang tidak mandiri. Dia juga belum bisa berbagi dengan adiknya dalam hal apa saja, entah mainan, makanan, atau juga perhatian.

Ny. Ambar, Jetis

Jawab,

Yth. Ibu Ambar,

Menghadapai masalah perilaku anak memang butuh kesabaran dan kejelian. Khususnya untuk mencari sebenarnya letak permasalahan ada dimana. Dalam kasus berangkat sekolah misalnya, apakah anak punya cukup waktu di pagi hari untuk mempersiapkan kebutuhan sekolahnya? Bila ritme anak tergolong lamban, maka ia membutuhkan waktu di malam hari untuk menyelesaikan seluruh persiapannya. Tidak ada salahnya pula meminta pendapat anak, menurutnya bagaimana caranya supaya ia lebih cepat?

Apa yang ibu lakukan dengan banyak membaca dan berusaha menyelami perasaan anak sudah baik. Ibu juga benar masalah ini tidak bisa dibiarkan. Namun, bila direspon berlebihan akan memunculkan situasi tidak nyaman yang justru menimbulkan frustasi bagi semua.

Ibu lelah karena berteriak-teriak dan membentak-bentak. Anak harus berbagi energi untuk mendengarkan bentakan akibatnya membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas. Pada akhirnya, bentakan dan teriakan nyatanya tetap tidak mampu mengubah situasi. Seringnya bentakan dan teriakan menjadikan anak justru terbiasa dengan hal ini. Yang dibutuhkan anak adalah bantuan kita untuk memfokuskan diri pada cara-cara menyelesaikan tugas seperti mempersiapkan diri di malam hari, bangun lebih awal, mengerjakan PR. Mengajari anak konsep jam juga bisa membantu dia mengatur waktunya.

Untuk mendorong kemandiriannya, usahakan tidak mengambil alih tugas yang bisa dikerjakan anak sendiri meskipun dia menolak mengerjakannya. Berikan pilihan pada anak untuk belajar memutuskan sendiri dan merasakan konsekuensinya. Pada anak seusia ini wajar bila kemampuan berbagi kadang muncul kadang tidak.

Kadang mereka masih egosentris, belum mampu memahami sudut pandang orang lain. Kemampuan ini dipelajari, didapat dari banyaknya contoh yang dilihat dan kesempatan untuk berlatih baik dengan orang tua dan teman sebaya.

[Elga Andriana – Harian Jogja 15, 21 Sep 2008]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *