Oleh Demitria Budiningrum (Kepala Sekolah Rumah Citta)
Selama 7 tahun saya berkecimpung dalam dunia anak usia dini ( usia 8 tahun ke bawah), saya banyak menemui orangtua yang mengeluhkan anaknya karena setelah sekolah malah menjadi anak yang ngeyel, berani menentang orangtua. Para orangtua ini tidak suka jika anaknya banyak bertanya, berarti mengungkapkan ketidaksukaan ataupun ketidaksetujuan dengan pendapat atau pun perintah orangtua, kalau diberitahu malah menjawab, dst.
Bagi orangtua tersebut, hal itu tidak sopan, menunjukkan sikap tidak hormat pada orang yang lebih tua, dan lebih lagi, menganggap anak tidak berhak mengungkapkan pendapatnya. Anak harus manut dengan perintah atau kata-kata orangtua. Sebenarnya, dimana letak permasalahannya? Hal ini saya pandang dari beberapa sudut. Pertama, dari keberanian anak mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Kedua, dari cara menyampaikan pendapat dan perasaan. Ketiga, dari pemahaman dan kesiapan orangtua. Demikian penjabarannya:
- Keberanian ungkapan pendapat dan perasaan. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi kepada orang lain, dikenal juga dengan istilah asertif. Sikap asertif merupakan sikap yang sangat baik dan diperlukan dalam bersosialisasi. Sikap asertif membantu seseorang untuk ,mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya mengenai suatu hal sehingga orang lain mengetahui isi perasaan dan pikirannya. Ini juga penting untuk proses pemecahan masalah.
Anak usai dini yang mampu bersikap asertif secara sederhana, membantu orangtua ataupun pendidik untuk memperlakukan anak dengan benar. Orangtua dapat mengetahui bahwa anak tidak suka, misalnya: dipeluk, diciwel pipinya, makan makanan yang itu-itu saja, dibentak, dinasehati terlalu lama, memakai pakaian warna tertentu, dsb. Dengan mengetahui apa yang diharapkan, dirasakan anak, orangtua malahan terbantu untuk lebih memahami anak, bertindak lebih tepat, dan terhindar dari rebut yang berkepanjangan dengan anak.
- Cara menyampaikan pendapat dan perasaan. Saya piker, salah satu sebab orangtua tidak suka anaknya berani berpendapat ataupun bilang tidak suka dan tidak setuju adalah karena anak seringkali menyampaikan dengan cara yang tidak dapat diterima orang di sekitarnya. Anak kerap kali mengatakan tidak mau, tidak suka, tidak setuju dengan cara berteriak, membentak, merengek, memukul-mukul, menangis dan perilaku negative lainnya. Tentu saja orangtua menjadi kesal dengan perilaku anak tersebut. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Tentu saja mengajarkan anak bagaimana cara mengungkapkan pendapat dan perasaan yang benar. Caranya, paling mudah adalah memberi contoh (modelling).
Orangtua merupakan model yang pertama dan utama dalam mengajarkan anak berpendapat dengan ‘sopan’. Kalau orangtua sendiri tidak pernah menyampaikan pendapat yang baik, kepada anak sekalipun, bagaimana mungkin anak dapat melakukannya? Cara lain adalah dengan permainan. Contoh, permainan bolehkah aku memegang? Salah satu anggota keluarga berada di dalam lingkaran atau daerah yang diberi batas menggunakan kapur atau hulahop atau tali. Anggota keluarga di luar batas bergantian, mmeminta izin yang di dalam lingkaran untuk menyentuh salah satu bagian tubuh yang di dalam. Jika anggota keluarga yang di dalam lingkaran mengijinkan, anggota yang meminta ijin boleh memegang. Jika anggota keluarga yang di dalam llingkaran tidak mengijinkan, anggota yang minta ijin tidak boleh memegang.
- Kesiapan orangtua. Diakui atau tidak, orangtua sering tidak siap dengan keterbukaan anak. Mengapa? Karena selama ini orangtua berada pada posisi yang selalu membantu, menjaga, melakukan banyak hal untuk anak. Saat anak mulai menunjukkan eksistensi dirinya, orangtua merasa tidak dibutuhkan lagi. Sebab lainnya adalah, kita sering tidak siap memberikan alasan logis memperlakukan anak sedemikian. Padahal, seiring dengan perkembangannya, anak belajar banyak hal dan semakin memahami apa yang diinginkan dan tidak diinginkannya. Perkembangan yang kkita harapkan tentunya, karena untuk itulah anak belajar.
Dari uraian diatas, saya simpulkan 2 hal penting. Pertama, penting bagi anak memiliki sikapasertif. Kedua, kita orangtua perlu membantu anak dan mengembangkan sikap asertivitas dan menyiapkan diri untuk menghadapinya. Bukankah kita ingin anak-anak kita menjadi pribadi yang dewasa dan dapat melindungi dirinya sendiri?
Semoga bermanfaat.
Harian Joga, 25 Oktober 2009